Siapakah Sosok Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi?
aldanpost - Siapakah Sosok Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi? - Syekh Khatib lahir pada tahun 1860 di Koto Tuo, tepatnya lahir di Balai Gurah, IV Angkek, Agam, provinsi Sumatera Barat. Beliau saat lahir memiliki nama lengkap al Allamah asy Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah bin Abdul Lathif bin Abdurrahman dan kerap dipanggil Syekh Khatib.
Masa
kecil dilalui Syekh Khatib di kampung halaman dengan belajar di sekolah rendah
hingga tamat sebelum ikut ayahnya ke Mekkah. Masa kecil beliau diisi dengan
pembelajaran dari sang ayah bernama Syekh Abdul Lathif, serta dititipkan ke
beberapa ulama besar di Mekkah saat berusia masih 11 tahun.
![]() |
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi |
Mengenal Sosok Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Belajar ke Mekkah
Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi kecil dititipkan pada ulama bernama Sayyid Umar bin Muhammad
bin Mahmud Syatha al Makki asy Syafi’i agar mampu mengajari sang anak. Selain
itu, ada pula ulama lain bernama Sayyid Utsman bin Muhammad Syatha al Makki asy
Syafi’i yang juga turut mengajari Syekh Khatib.
Dan
terakhir, dititipkan juga pada Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul Abidin Syatha
ad Dimyathi al Makki asy Syafi’i sang ulama dari Mekkah. Sejak muda, Syekh
Khatib dikenal sebagai seorang yang jenius dan rendah hati dan pernah tercatat
sebagai orang non Arab pertama yang dipercaya menjadi imam besar di Masjidil
Haram, Mekah.
Kala
itu, Syekh Khatib muda atau Ahmad Khatib adalah murid yang rajin dan cerdas
yang membuatnya dapat menimba ilmu yang banyak dalam waktu yang relatif
singkat. Inilah yang membuat sang ayah mengajak Syekh Khatib muda untuk
menempuh pendidikan di kota Mekkah.
Syekh
Khatib sudah khatam dan mampu menghafal beberapa juz dalam Alquran sejak masih
kecil yang diajarkan oleh sang ayah. Syekh Khatib menguasai ilmu fiqih, ilmu
sejarah, berhitung, geometri, aljabar, serta ilmu falak yang dianggap sangat
canggih pada waktu itu.
Karya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Syaikh
Ahmad Khatib menulis karya karya ilmu yang tertuang dalam bahasa Arab dan juga
bahasa Melayu, namun tetap menggunakan tulisan arab. Tema dari kitab yang
beliau tulis, kebanyakan diangkat dari tema modern. Seperti halnya yang
menjelaskan tentang kemurnian Islam.
Tema
lain yang juga dibahas dalam kitab karyanya adalah merobohkan kekeliruan
tarekat, tahayyul dan kurafat, bid’ah, serta adat yang tidak sesuai dengan
syariat Islam. Beberapa kitab yang menggunakan bahasa Arab antara lain seperti
al-Jaibiyyah, Raudlat al-Hussab dan Khasyiyah al-Nafarat ala Syarhi al-Waraqat
li al-Mahalli.
Kitab
lain yang juga berbahasa sama seperti al Jawahiru al-Naqiyyah fi al-A’mali,
Ma’ainul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz, kitab al-Qulu al-Mufid ala Mathlai
al-Said, serta beberapa kitab berbahasa Arab lainnya. Untuk kitab dengan bahasa
Melayu, seperti Mu’alimu al-Hussab fi ilmi al-Hisab dan juga Dhau al-Siraj.
Ada
juga kitab Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi lain seperti al-Jawi fi nahw, Salamu al-Nahw, Izhar Zughlai
al-Kadzibin, al-Manhajul Masyru’ fi al-Mawarist yang juga menggunakan bahasa
Melayu. Syekh Khatib telah melahirkan ratusan karya tukis, serta beberapa judul
yang beliau buat sudah sering dijadikan rujukan oleh ulama dunia.
Awal Mula Mengajar di Masjidil Haram
Setelah
10 tahun menimba ilmu di Makkah, Syekh Khatib berjumpa dengan seorang pria
bernama Saleh Kurdi yang merupakan seorang pemilik toko. Saleh Kurdi terpikat
dengan sikap dan kecerdasan Syekh Khatib, lantas menikahkan Syekh Khatib muda
dengan putrinya. Singkat cerita, Syekh Khatib yang mampu membuat halaqah
dibantu oleh sang mertua hingga bisa mengajar di dalam Masjidil Haram, Mekkah.
Syekh
Khatib mulai didatangi banyak murid, khususnya santri santri dari Indonesia
maupun semenanjung Malaka. Beliau begitu masyhur, sehingga diberikan gelar menjadi
imam dan khatib dalam Mazhab Syafii di Masjidil Haram dan kini dikenal sebagai
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Santri
santri yang belajar pada Syaikh Khatib, di antaranya seperti Syeikh Abbas
Qadli, Syeikh Sulaiman al-Rasuli, serta Syeikh Muhdi Jamil Jaho. Ada juga para
santri lain seperti Syaikh Musthofa Purba Baru, Syaikh Hasan Ma’sum Medan Deli,
serta masih banyak lagi ulama besar Indonesia yang dulunya menjadi santri
Syaikh Khatib.
Menjadi Tokoh Islam Pembaharu
Syekh
Khatib menjadi salah satu tokoh Islam pembaharu Indonesia dan melahirkan para
ulama besar di nusantara. Mereka adalah tokoh yang kini menjadi pendiri
Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy'ari hingga tokoh pendiri PB Muhammadiyah,
KH. Ahmad Dahlan.
Peran
Syekh Ahmad Khatib juga memiliki kontribusi cukup besar melalui pemikiran
tersebut, hingga akhirnya tersebar luas di Indonesia. Pemikiran ini tersebar
melalui karya tulis atau kitabnya dan lewat tatap muka secara langsung dengan
para santri dari Indonesia.
Syekh
Khatib juga membangun pondok pengajian di lingkungan tempat tinggalnya di
Minang. Tempat tersebut dijadikan sebagai tempat untuk belajar dan menuntut
ilmu pengetahuan seputar agama. Pondok pengajian tersebut mengalami
perkembangan yang semakin besar dan para santrinya pun berasal dari nusantara
hingga beberapa negara di dunia.
Para
para ulama Indonesia yang menjalankan ibadah haji turut menyempatkan diri
belajar pada Syekh Khatib, lalu setelah
kembali ke Indonesia menjadi ulama-ulama besar. Para ulama didikan Syekh Ahmad
Khatib, turut berjuang melawan penjajah Belanda di daerahnya masing-masing dan
mendirikan lembaga pendidikan keagamaan.
Syekh
Khatib memiliki pemikiran mengenai pentingnya persatuan Islam yang terbangun,
sehingga hal ini haruslah diperkuat demi membebaskan negara dari penjajahan.
Pemikiran ini yang menjadi salah satu pembuka jalan perjuangan umat Islam di
Indonesia dalam melawan kolonialisme.
Syekh
Ahmad Khatib adalah seorang tokoh ulama besar Syafi’yyah dan menjadi peneguh
Ahlussunnah wal Jama’ah atau Aswaja, serta memiliki jiwa tasawuf seperti
pendiriannya dalam kitabnya al-Fath al-Mubin. Membahas mengenai masalah yang
terjadi di Minangkabau, Syekh Khatib terkenal sebagai sosok yang sangat tegas
dalam memberikan keputusan.
Terutama
yang menyangkut masalah praktik Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah maupun
hukum waris yang berdasarkan adat Minang. Pemikiran beliau memunculkan polemik
yang begitu hebat, apalagi setelah beliau menentang Thariqat Naqsabandiyah
al-Khalidiyah secara terbuka.
Kritikan
tersebut beliau sampaikan melalui tulisan dalam kitab Izhharu Zaghlil Kazibin
fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang beliau selesaikan di tahun 1906. Kehadiran
kitab Naqsabandiyah al-Khalidiyah membuat seluruh pengikut tarekat Naqsabadiyah
dan tasawuf marah dan melakukan protes.
Hal
ini direspon melalui kitab karyanya yang berjudul Irghamu Unufi Muta’annitin fi
Inkarihim Rabithatil Washilin. Di mana perbedaan ini justru memicu gerakan di
Tanah Minang mengalami perkembangan, semakin maju, mengubah cara pandang
masyarakat terkait hukum waris, hingga jauh dari keterbelakangan.
Pada
tahun 8 Jumadil Awal 1334 Hijriah atau sekitar tahun 1916 Masehi, Syekh Ahmad
Khatib wafat di Mekkah dan dimakamkan di tanah suci. Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi tidak pernah lagi menetap di Ranah Minang Indonesia, sejak
usia 11 tahun dan hajya kembali 1 kali selama beliau belajar di Mekkah. Namun,
masyarakat Minang tetap melekatkan nama Al-Minangkabawi di belakang nama
beliau.
Posting Komentar untuk "Siapakah Sosok Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi?"